Ketika kita 'merasa', terlepas dari benar atau salahnya perasaan 'merasa' itu, kita akan memngakuinya sebagai sebuah kebenaran mutlak. Mau tidak mau hal ini sudah mendarah daging. Sadar tidak sadar setiap orang pasti mengakui walau hanya dari balik nuraninya.
Ekspektasi yang demikian sering membuyarkan sebuah fenomena yang telah benar-benar terjadi dan yang sedang terjadi.
"Jangan menuntut sebelum kamu bisa melakukannya."
Terlihat seperti kalimat yang seram. Pada kenyataanya kalimat tersebut sudah menjadi tradisi yang tak perlu disampaikan lagi. Menurut saya pun kalimat ini bukan lagi sebuah kalimat yang 'WOW'.
Adakah seorang ibu yang mengenalkan anaknya terhadap sesuatu yang tidak ia ketahui?
Adakah seseorang yang bisa melupakan seseorang yang belum pernah ia temui?
*cukup dijawab dalam hati
[Tragisnya, saya adalah orang bodoh yang harus selalu diingatkan tetang kalimat ini :'( ]
[Tragisnya, saya adalah orang bodoh yang harus selalu diingatkan tetang kalimat ini :'( ]
Pertanyaannya, 'merasa' ini apakah sudah seimbang dengan lapangan?
Jangan pernah menjawabnya sendiri karena hanya akan menuntun ke dalam lubang yang lebih dalam lagi. Gunakan cermin. Bukankah tak ada seorangpun mampu melihat punggungnya sendiri tanpa bantuan cermin?
Lalu?
Yaaaahhhh, sebagai makhluk sosial yang pasti berhubungan, hal ini menjadi vital. Dalam hubungan timbal balik, perasaan di antara pelaku harus benar-benar seimbang. Kalau kita 'merasa' sudah memahami, orang-orang di sekeliling kita juga harus sudah 'merasa' bahwa kita sudah memahami.
Keseimbangan bukan hanya sebuah wacana, tapi merupakan kebutuhan yang nyata.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar