Gak akan pernah ada kata “baik-baik saja” ketika perceraian
telah sampai pada ketukan hakim yang ketiga. Gak akan pernah berhenti air mata
ketika semua tak lagi sama. Gak akan pernah sempurna keringnya luka walaupun
telah diobati. Gak akan pernah ada kerelaan yang serela-relanya atas semua yang
telah pergi. Gak akan pernah...
Ini terbukti ketika semua mulai terlihat membaik. Nyatanya,
ada benih luka pada sudut yang tak selalu terjamah siap untuk tumbuh dan tak
sengaja terpupuk oleh cintanya sendiri.
Dia (B), adik bungsuku, masih amat belia, cantik, ceria,
dan sahabat gulatku di rumah. Dia (B), adik bungsuku, yang kini terbaring
menderita dengan jeritan-jeritan suara jiwanya yang tak sampai, yang kini
sedang mendekap diri sendiri berusaha berlindung dari sakit hatinya, yang kini
sedang sakit sudah sebulan lamanya.
Semua mengira, tiga tahun yang lalu tak pernah menjadi beban
di pundaknya. Semua mengira, dia seorang remaja berhati baja. Semua mengira, dia
takkan kenapa-kenapa. Semua mengira, termasuk aku...
Saat awal perceraian, (A), adik lelakiku, menjadi goncangan
hebat dan luar biasa menguras semuanya, mulai dari tangis, tenaga, materi, juga
doa. Pemberontakannya seperti perang dingin yang sewaktu-waktu bisa saja
membara. Kelakuannya membuat kedua orang tuaku saling tuduh “tak becus” dalam
mengurusnya. Aku hanya menyiapkan telinga bagi keduanya.
Umi, wanita tangguh yang rapuh dan juga ibu kami, memulai hari
dengan memutar otak untuk memberi makan anaknya dan menutup mata dengan
kecemasan tentang apa yang bisa dimakan anaknya esok hari. Ditiap sujudnya, tak
pernah lepas nama (A) dari rentetan doa. Mungkin namaku dan (B) juga ada,
namun prioritasnya waktu itu adalah (A). Pintanya hanya satu, “Sembuhlah wahai
jagoanku, Umi rindu”.
Hingga akhirnya Umi memutuskan untuk membuka lagi istana
hatinya bagi sebuah cinta seorang pria. Bapak, pria yang sebaya dengan Umi,
sopan, sederhana, dan duda beranak dua, berhasil merayu Umi untuk menjalin
lembar baru yang lebih baik.
Tak seperti sinetron atau novel, pernikahan Umi dan Bapak
berjalan dengan lancar walaupun ada beberapan penolakan kecil, namun bisa
teratasi dengan baik-baik dan tanpa paksaan. Aku dan kedua adikku tak menyangka
bahwa akan begitu cepat akrab dengan kedua
anak Bapak. Begitu akrabnya kami seolah kami adalah saudara yang lama
tak berjumpa lalu kini dipertemukan kembali. Keakraban ini bersambung hingga
aku berkunjung ke rumah adik baruku di Bekasi. Mama, ibu mereka, menyambutku
dengan luar biasa hangat. Tak berhenti sampai disitu, keluarga besar Mama juga
menerimaku dengan keramahan yang tak akan pernah disangka oleh siapapun.
Pertama kali ke sana dan mendapatkan senyuman tulus yang tak terduga membuatku
bersyukur dan mulai bisa memaknai apa yang terjadi. Kesyukuranku makin
bertambah ketika ternyata kedatangan Bapak menjadikan (A) memiliki kiat untuk
sembuh perlahan.
Menerima orang asing di rumahmu dan harus kau anggap sebagai
ayahmu adalah hal yang tak mudah, namun kami bertiga berusaha sebaik mungkin.
Begitu juga dengan Bapak, sekuat tenaganya berusaha mengambil hati kami.
Sekedip mata, kami semua terlihat seperti baik-baik saja. Ya, terlihat seperti
baik-baik saja.
Terkadang aku tak bisa menerima kebijakan yang terlontar
dari mulut Bapak. Untung saja, cepat-cepat aku bisa meredamnya dengan,
“bagaimana pun dia adalah suami dari ibuku, dan agama mengajarkanku untuk
menghormatinya”. Terdengar teoritis, terserah bagi yang menganggap itu sekedar
teori, yang penting itulah caraku untuk meredam amarah yang kurang begitu
penting.
Abi, sosok pria sejati dan ayah yang bertanggung jawab,
dulu. Kini beliau tak lagi sejantan itu semenjak kepergiannya yang berbuah
ribuan tanda tanya. Namun, sosok Bapak takkan mungkin bisa menggantikan
keberadaan Abi, disitulah intinya.
(A) dengan sakit hatinya yang sempat membenci Abi, kini
saat dia mulai sembuh kebencian itu berubah menjadi sikap yang dingin.
Better...
Umi dengan kekecewaannya masih sering terkorek dengan atau
tanpa sengaja, kini hanya butuh telinga karena bebannya perlahan berkurang. Better...
Abi, bagaimanapun beliau adalah ayah kandungku dan kedua
adikku, takkan pernah menjadi mantan. Ikatan itulah yang takkan bisa
menghindarkan rindu padanya. Aku rasa beliau juga merasakan hal yang sama,
hanya saja lisannya terlalu gengsi untuk berekspresi. I wish he’ll found the
way to Allah...
(B), mainan kecilku yang biasa menemaniku untuk
berbelanja barang-barang lucu, berburu kuliner yang menggiurkan lidah kami,
menghabiskan uang bulanan, bahkan menemaniku gulat di rumah. Mungkin dia
bukanlah gadis yang terbuka dan bisa seenaknya mengutarakan isi hatinya pada
kakaknya ini, dia lebih sering terlihat jutek, dia yang masih kekanak-kanakan,
tapi dia gadis yang cukup menyenangkan, lebih ramah dari yang terlihat, dan sangat
friendly lebih dari yang orang kira.
Ketika (A), yang orang kira adalah “yang paling tersakiti”
setelah Umi, telah menemui jalannya dan membuat dada semua orang terasa lapang,
ada tangis (B) yang tercekat dalam sunyi dan ketidakberdayaannya hingga
membuat dadanya sesak dan tenggorokannya sakit.
Mungkin itu yang membuat sakitnya tak kunjung membaik.
Aku tau, keluhnya cuma satu, rindu.
Cuma satu, RINDU.
Cuma satu, R I N D U.
Ya, aku juga rindu, rinduku banyak sekali, tapi kali ini aku
lebih rindu bergulat dengannya hingga tenggorokan kami kering dan badan kami
lemas dibanding apapun.
Gak akan pernah ada kata “baik-baik saja” ketika perceraian telah sampai pada ketukan hakim yang ketiga. Gak akan pernah berhenti air mata ketika semua tak lagi sama. Gak akan pernah sempurna keringnya luka walaupun telah diobati. Gak akan pernah ada kerelaan yang serela-relanya atas semua yang telah pergi. Gak akan pernah...
Tidak ada komentar:
Posting Komentar