Sabtu, 25 Januari 2014

Pernah?



Pernah membayangkan betapa menyenangkannya jika kita mempunyai sayap?
Pernah membayangkan betapa cantiknya jika kita seindah kupu-kupu?
Pernah membayangkan betapa kerennya jika kita bisa berubah dari seekor ulat berbulu menjadi cantik dan berwarna-warni?

Pernah terpikir bahwa hidup kita tak lebih baik dari hidup hewan?
Pernah terpikir bahwa waktu kita terbuang lebih sia-sia dari waktu yang digunakan oleh seekor kucing untuk tidur?

Pernah merasa lebih hina dari anjing yang daging dan liurnya haram bagi umat Muslim?
Pernah merasa iri karena tidak bisa lebih terhormat dari sapi bagi umat Hindu?

Pernah?

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #3

Ternyata aku baru terbangun dari mimpi dan aku tertidur di depan laptop di atas meja kerjaku.

"Makasih ya, Mas Emier." senyum lebarku yang aneh karna masih lemas dan ling-lung, disambut dengan cubitan di pipi kananku oleh Emier.

___
Kurasa pekerjaanku adalah seorang penulis. Karena setelah aku cek semalam, ketika setelah terbangun dari mimpi, laptopku penuh dengan draft tulisan. Tulisan esay, cerpen, novel, maupun biografi, tersusun rapi pada memory hard disk laptopku. Satu persatu kubaca, satu per satu kecerna. Memang benar semuanya mengandung gaya tulisanku tapi aku tetap tidak mengerti. Aku tak pernah merasa pernah menulis semua itu.

Oh ya, satu hal lagi, Emier. Do you believe that we've maried? Aku bergidik semalaman karena harus tidur di sampingnya. Bahkan jantungku hampir berhenti ketika tangannya mendekap tubuhku dengan tidak sengaja. Oh, Tuhan, aku benar-benar bingung karena seingatku Emier masih menjadi tetangga berumah jingga. Tepat seperti mimpiku semalam, seingatku Emier masih menjadi tetangga berumah jingga. Emmm, kecuali gadis kecil yang ada difoto. Aku tak ingat pernah mengenalnya.

Gledek.. gledek.. gledek..
Trolly belanjaan kudorong perlahan masih dengan otak yang penuh dengan kekacauan. Isi trolly pun ikut kacau karena sebenarnya aku tak tahu harus belanja apa. Aku hanya ingin keluar dari rumah asing itu untuk menenangkan ketegangan dalam kepalaku dan hal paling logis yang terlintas dikepala selain kabur kemudian berteriak minta tolong seperti orang gila adalah belanja.

Aku berhenti pada rak minuman, entah kenapa aku berhenti tapi sepertinya ada hal wajib yang selalu aku beli ketika belanja. Kedua bola mataku menelisik satu persatu merk dan jenis minuman yang ada, mencari-cari sesuatu yang aku yakin mampu membuatku tenang. Dan...

Bruak..

"Aduh!"

"Eh, maaf. Kamu gak papa?"

Kuusap-usap tungkaiku yang terbentur trolly lantaran tertabrak oleh trolly orang ceroboh di hadapanku ini. Aduh ini orang bloon banget sih, runtukku dalam hati.

"Lho, Anisa? Sendirian?" lelaki ceroboh barusan semakin membuatku terperangah lantaran memanggil namaku dengan lantang. Kudongakkan wajahku padanya, jantungku kembali jumpalitan dan aku hampir hilang kesadaran.

"Lho, kamu? Ngapain?" pertanyaan bodoh itu saja yang mampu meluncur dengan lancar ketika aku sedang bingung. Bingung kenapa? Karena dia adalah mantan kekasih yang kutinggalkan lebih dari tiga tahun lalu. Aku menghindarinya agar dia tak lagi mengharapkan hubungan kami bisa kembali.

Pertanyaanku disambut dengan tawa renyah Dev, Devdas Aruna, "Ya belanja, Nis. Kamu sama siapa? Emier?" lanjutnya.

Tuhan, apa lagi ini? Dev kenal Emier?

___
to be continued
___


Rabu, 15 Januari 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #2

Tiba-tiba pandanganku terantuk pada sebuah bingkai foto paling kecil di antara bingkai lain yang tersusun rapi pada buffet antik di ruang tamu itu. Foto Emier bersama gadis kecil, mereka sedang di taman bunga, Emier dengan senyum manisnya duduk pada gazebo yang penuh dengan tanaman rambat dan hiasan balon warna-warni sedangkan gadis kecil itu berdiri di sampingnya sambil tertawa.
___
Aku penasaran, Siapa ya? Perasaan Mas Emier punya adik tapi udah kuliah. Tanganku spontan meletakkan pop up box dan ponsel yang sedari tadi kugenggam kemudian berdiri menghampiri foto itu. Tanganku mengambil foto berbingkai kayu ukiran jawa itu dan mendekatkannya dengan jarak pandangku. Semakin dekat kulihat, gadis kecil itu sangat mirip dengan Emier. Matanya, garis pipinya, bibirnya, lengkung alisnya, bentuk hidungnya, aku seperti melihat wajah Emier kecil yang terbungkus dalam tubuh seorang gadis. Siapa ya?

"Lucu, ya?" suara Emier mengejutkanku dan membuat tanganku meletakkan bingkai kayu itu dengan kasar. Sebelum pertanyaan dalam otakku semakin liar, Emier kembali muncul dengan tiba-tiba sambil membawa nampan berisi dua cangkir putih yang kemudian diletakkan di atas meja tamu.

"Eh, i..iiya, Mas. Cantik," jawabku gugup. Kubenarkan letak bingkai kayu itu kemudian kembali duduk.

"Silahkan, Nis. Seadanya aja yah, abis Mama lagi pergi. Di rumah juga cuman ada aku," ujarnya sambil terkekeh lucu. Senyumku yang kaku, kubuat senormal mungkin. Aku tak tahan melihat ekspresi Emier seperti itu, wajah lucunya selalu membuat jantungku jumpalitan. Kualihkan pandanganku pada cangkir putih berisi cairan berwarna coklat, yang masih berasap, di hadapanku agar pipi merahku tak terlihat olehnya.

"Iya, gak papa kok, Mas."

Kuraih cangkir putih itu dan mendekatkannya pada bibirku. Belum sampai kuminum, aroma khas coklat memenuhi rongga penciumanku dan menerbangkan alam khayalku. Kupejamkan mataku agar aromanya dapat kucerna jelas. Semakin dalam kuhirup, aromanya semakin jelas. Semakin penuh dadaku dengan rasa coklat, perlahan suasana menjadi berbeda.

Kubuka perlahan kelopak mataku. Aneh, rasanya sangat berat. Seperti mataku telah terpejam sangat lama. Perlahan cahaya putih dan beberapa warna buram tertangkap retinaku yang kemudian makin lama makin jelas.

"Aiihh, kasihan yang lembur.. Coklat panasnya, Sayang. Aku ikutan lembur buatin kamu coklat, maklumin yah kalo rasanya aneh," ujar lelaki di hadapanku disusul dengan tawa renyah yang tak asing di telingaku.

Ternyata aku baru terbangun dari mimpi dan aku tertidur di depan laptop di atas meja kerjaku.

"Makasih ya, Mas Emier." senyum lebarku yang aneh karna masih lemas, disambut dengan cubitan di pipi kananku oleh Emier.
___
to be continued
___

Selasa, 14 Januari 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #1

aku ingin ...
ya, aku ingin ...
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

Kalimat itu berhenti terketik tepat ketika langkahku mati di depan bangunan jingga itu. Kualihkan pandanganku ke arah pintu coklat yang ada di depannya. Jarak kami masih sekitar dua puluh langkah lagi, namun rasanya lututku sudah kelu dibuatnya. Meraih gerbang coklat pemisah antara hidup dan matiku, kulakukan dengan sekuat hati dan keangkuhan ego. Jika tak begitu, maka apa yang telah aku rencanakan akan menguap tak berbekas.

Genggaman jemariku terlalu kencang hingga gerbang itu mulai gemetar hingga menciptakan suara decitan khas besi berkarat. Hatiku semakin cemas, buru-buru kulepas gerbang itu dan mundur perlahan tanpa perintah.

Gerah, padahal awan sedang muram. Mungkin, kegelisahan membuat metabolisme dalam tubuhku meningkat dan akibatnya keringatku mulai banjir sekarang. Di antara rasa gerah dan basah, ada yang lebih kucemaskan, yaitu pop up box dan pesan singkat yang aku ketik pada memo ponsel di sepanjang jalan dari rumah hingga kemari.

Berkali-kali aku menelan ludah dengan berat sambil menatap bergantian antara pintu coklat yang masih dua puluh langkah lagi dengan pop up box di tanganku.Tuhan, buat semuanya mudah, sekali ini aja. Please!!
Baru saja akan kuraih kembali gerbang berdecit itu, sapaan singkat pada namaku membuyarkan semuanya. Kepalaku menoleh ragu ke asal suara, berharap orang itu bukanlah pemilik nama yang sedari tadi kusebut-sebut dalam hati.

"Lagi apa, Nis?"

Sialnya, dialah pemilik nama itu. Sumpah demi apapun, jika ada kursus singkat ilmu sihir sekarang, aku akan memilih ilmu menghilang. Menghilang sekarang dan menghilang dari ingatannya untuk selama-lamanya.
Wajahku memanas mendengar namaku disebutya sekali lagi,
"Eh, Mas Emier. Engg.. anu, ini loh Mas.."

"Mau masuk dulu?" tanyanya lembut kemudian membukakan gerbang untukku dan memaksaku untuk masuk tanpa peduli jawabanku iya atau tidak.

Emier Lazuardi, kenapa selalu muncul tiba-tiba? Ngilang juga seenaknya?! runtukku dalam hati sambil mengekori laki-laki pemilik rumah jingga ini.

"Mau minum apa, Nis?"

"Engg.. apa aja, Mas."

"Air kolam mau?"

Aku tak menjawab, malah muka bloon yang terpasang sempurna. Emier tertawa renyah kemudian masuk ke dalam tanpa menanyaiku untuk kedua kalinya. Aku yang masih, linglung semakin salah tingkah, berkali-kali kubetulkan posisi dudukku dan merapikan pakaian.

Tiba-tiba pandanganku terantuk pada sebuah bingkai foto paling kecil di antara bingkai lain yang tersusun rapi pada buffet antik di ruang tamu itu. Foto Emier bersama gadis kecil, mereka sedang di taman bunga, Emier dengan senyum manisnya duduk pada gazebo yang penuh dengan tanaman rambat dan hiasan balon warna-warni sedangkan gadis kecil itu berdiri di sampingnya sambil tertawa.
___
to be continued
___

Pengikut