Selasa, 14 Januari 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #1

aku ingin ...
ya, aku ingin ...
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

Kalimat itu berhenti terketik tepat ketika langkahku mati di depan bangunan jingga itu. Kualihkan pandanganku ke arah pintu coklat yang ada di depannya. Jarak kami masih sekitar dua puluh langkah lagi, namun rasanya lututku sudah kelu dibuatnya. Meraih gerbang coklat pemisah antara hidup dan matiku, kulakukan dengan sekuat hati dan keangkuhan ego. Jika tak begitu, maka apa yang telah aku rencanakan akan menguap tak berbekas.

Genggaman jemariku terlalu kencang hingga gerbang itu mulai gemetar hingga menciptakan suara decitan khas besi berkarat. Hatiku semakin cemas, buru-buru kulepas gerbang itu dan mundur perlahan tanpa perintah.

Gerah, padahal awan sedang muram. Mungkin, kegelisahan membuat metabolisme dalam tubuhku meningkat dan akibatnya keringatku mulai banjir sekarang. Di antara rasa gerah dan basah, ada yang lebih kucemaskan, yaitu pop up box dan pesan singkat yang aku ketik pada memo ponsel di sepanjang jalan dari rumah hingga kemari.

Berkali-kali aku menelan ludah dengan berat sambil menatap bergantian antara pintu coklat yang masih dua puluh langkah lagi dengan pop up box di tanganku.Tuhan, buat semuanya mudah, sekali ini aja. Please!!
Baru saja akan kuraih kembali gerbang berdecit itu, sapaan singkat pada namaku membuyarkan semuanya. Kepalaku menoleh ragu ke asal suara, berharap orang itu bukanlah pemilik nama yang sedari tadi kusebut-sebut dalam hati.

"Lagi apa, Nis?"

Sialnya, dialah pemilik nama itu. Sumpah demi apapun, jika ada kursus singkat ilmu sihir sekarang, aku akan memilih ilmu menghilang. Menghilang sekarang dan menghilang dari ingatannya untuk selama-lamanya.
Wajahku memanas mendengar namaku disebutya sekali lagi,
"Eh, Mas Emier. Engg.. anu, ini loh Mas.."

"Mau masuk dulu?" tanyanya lembut kemudian membukakan gerbang untukku dan memaksaku untuk masuk tanpa peduli jawabanku iya atau tidak.

Emier Lazuardi, kenapa selalu muncul tiba-tiba? Ngilang juga seenaknya?! runtukku dalam hati sambil mengekori laki-laki pemilik rumah jingga ini.

"Mau minum apa, Nis?"

"Engg.. apa aja, Mas."

"Air kolam mau?"

Aku tak menjawab, malah muka bloon yang terpasang sempurna. Emier tertawa renyah kemudian masuk ke dalam tanpa menanyaiku untuk kedua kalinya. Aku yang masih, linglung semakin salah tingkah, berkali-kali kubetulkan posisi dudukku dan merapikan pakaian.

Tiba-tiba pandanganku terantuk pada sebuah bingkai foto paling kecil di antara bingkai lain yang tersusun rapi pada buffet antik di ruang tamu itu. Foto Emier bersama gadis kecil, mereka sedang di taman bunga, Emier dengan senyum manisnya duduk pada gazebo yang penuh dengan tanaman rambat dan hiasan balon warna-warni sedangkan gadis kecil itu berdiri di sampingnya sambil tertawa.
___
to be continued
___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut