Minggu, 14 Desember 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #9

Hai, Kamu! Ya, Kamu! Aku rindu
Dan sekali lagi, pesan singkat itu hanya menjadi penghuni folder draft. Jemari yang mengetiknya, tak berdaya.
___
"Tadi, subuh-subuh, Dev ke sini," cerita Bunda pada Anisa.
Anisa tak menunjukkan ekspresi apapun, hanya "hmmm" singkat yang keluar dari bibirnya. Bunda mengerti, anaknya sedang tak ingin membicarakan pria itu karena suatu hal, tapi Bunda juga ingin anaknya tahu bahwa ada ketulusan dan penyesalan yang tersirat pada nada bicara Dev subuh tadi.

Bunda tetap bercerita panjang lebar tentang kedatangan Dev tiap hari selama Anisa tak sadarkan diri. Tentang vas bunga yang selalu terisi dengan bunga pemberian Dev. Tentang puluhan pesan singkat yang dia kirim pada Bunda hanya untuk menanyakan kabar Anisa, serta tentang raut sesal yang penuh harap.

"Andai semudah itu, Nda. Sesal bisa jadi jaminan dan maaf menyapu bersih memori, andai semudah itu," gumam Anisa lirih, namun masih bisa terdengar oleh Bunda yang sedang mengupaskan jeruk untuk Anisa.

"Sudah siang, Bunda pulang dulu yaa. Ambil baju ganti."

Anisa kembali mengambil posisi tidur favoritnya. Dia masih begitu lelah, seperti telah berpergian kesana kemari tanpa henti. Tentang mimpi panjangnya, menyisakan pening hingga kini.
___
"Maafkan saya, mungkin ini milik Anisa"

Samar-samar terdengar percakapan diluar kamar inap. Sepertinya bunda sedang berbicara dengan serang pria. Anisa belum sadar sepenuhnya, kepalanya pun masih pening. Tak hiraukannya percakapan itu, kemudian kembali terlelap.
___
"Maafkan aku, Anisa. Kerumitan ini tak peting lagi buatmu."

"Kerumitan yang mana? Kamu.. kamu.. kamu selalu saja menghilang dan kembali sesukamu! Kamu tahu kalau itu menyakitiku?"

"Maaf.. Aku rindu, aku bahagia, aku suka.. Itu benar adanya..."

"Bohong! Kamu.. kamu.." tiba-tiba air mata mengalir seenaknya, membuat kalimat Anisa terbata.

"Aku berbohong jika aku tak rindu, tapi biarlah kerumitan ini tak lagi membebanimu"

Kemudia pria itu berlalu pergi meninggalkan air mata Anisa yang tersedu sendiri.
___

Rabu, 12 November 2014

Ini Tetang Kehidupan Yang Memaksa Kita Untuk Berpikir Cerdas

Saat melihat layar netbook dan menulis ini, aku tersenyum sendiri sembari terbawa pada memori beberapa bulan yang lalu. Ini tentang sebuah kegiatan sosial dan amal, ini tentang sebuah komunitas, ini tentang sebuah keyakinan, ini tentang sebuah kehidupan yang memaksa kita untuk berpikir cerdas.

Beberapa bulan yang lalu, aku sempat menyisihkan sebagian tenaga, waktu, serta pikiran untuk mensukseskan sebuah acara sosial dan amal. Aku ikhlas, dan aku percaya seluruh tim pun meyakini hal yang sama. Namun keikhlasanku menjadi tak utuh ketika tak ada transparansi serta pertanggungjawaban, entah pada tim maupun pada donatur. Kemudian berganti hari dan detik, banyak kejanggalan yang semakin mengerutkan keningku. Singkat cerita, aku mundur teratur.

Sengaja nama komunitas (penyelenggara kegiatan) tidak dishare, aku hanya menghindari provokasi.

Barusan, mata sedang ternutrisi oleh video "kristenisasi terselubung" oleh sebuah komunitas yang mengklaim bahwa kegiatan komunitas tersebut adalah kegiatan sosial, peduli dengan kebangkitan Indonesia, mendukung kabinet Indonesia yang bersih dari korup. Terselubung dibagian mana?
Silahkan menonton dengan tenang, berpikir cerdas, dan berlaku bijak..


Komentarku? Abaikan, hahaha.. aku hanya membagi, silahkan berspekulasi sendiri dan mencari pembenaran atas keyakinan masing-masing.

Ada satu lagi sebuah video dari London ^^


Sekali lagi, ini buakan provokasi, hanya berbagi.. Komentarku? Abaikan.. Silahkan berspekulasi sendiri dan berbagi pada orang-orang terdekat ^^

Oh iya satu lagi,


Saat melihat layar netbook dan menulis ini, aku tersenyum sendiri sembari terbawa pada memori beberapa bulan yang lalu. Ini tentang sebuah kegiatan sosial dan amal, ini tentang sebuah komunitas, ini tentang sebuah keyakinan, ini tentang sebuah kehidupan yang memaksa kita untuk berpikir cerdas.


Minggu, 12 Oktober 2014

Feel Free To "Feel Free"

kemudian, ketika gelisah kembali membelai ubun-ubun dan membawa nampan yang penuh dengan tanda tanya, seperti biasa bibirku hanya membatu.

ada, sudut terjauh dalam otakku yang tak rela dengan adanya "beda". walau berulang kali kuremas dan kubuang, hadirnya tak pernah dengan mengucap salam atupun mengetuk pintu.

memang, ini tentang piihan. memilih untuk menyamai dengan perasaan yang tidak nyaman namun terakui. atau memilih kenyamanan walau itu sepi dan tak sama.

hatiku masih pada jati dirinya, walau otak sering gelisah.
ragaku masih melayang bebas dengan lintasan yang kulukis sendiri, walau mata sering silau dengan lintasan lain yang "mungkun" lebih mengandung banyak tawa dan bahagia.

aku, masih "bebas"...

image's source: https://c1.staticflickr.com/7/6233/6231032995_e992ab71dd_z.jpg

Rabu, 27 Agustus 2014

Finding "nemo"

Kau bilang, bahagia itu "kita", mengapa masih ingin mencari? Pada suatu hari? dan berharap?

Senin, 25 Agustus 2014

You In My Box, Me In Your Box

Belum sama sekali terpejam, pikiranku semakin kacau berlebihan. Membacamu, membacaku, kucari tentang kita pada tumpukan kardus hangat yang baru saja kubangun, tangis kubaca terbata. Mengapa? Cengkraman "beda" yang harusnya pelengkap dalam lukisan indah kita, kini menyakitiku terlalu dalam dengan warna-warnamu yang cerah gemerlap dan mencolok. Warna pastelku yang itu-itu saja tak cukup cantik akhirnya.
Berlebihan? yaaaaaaaa, aku sangat berlebihan kali ini, karena kau pun menyilaukanku dengan berlebihan.

Tak kusangka, begitu berat berjalan beriringan disamping jemarimu dan mengaitkannya pada jemariku.

You can handle every situation in "my box", I always being a fool when stuck in "your box"

Aku nyampah di sosial media yang bisa dibaca semua orang? Yaaaaaaaaaaaaaaa, memang. dan aku gak takut. I'm nobody, you somebody. This is my blog, not yours. I'm not spell your name here and you never care about my words here. That's why I'm not afraid if the world knows this shit thing.

Aku menyerah? Bukan, aku hanya kesal dan geram mengapa, aku tak bisa duduk sejajar denganmu ketika duniamu hadir mendekat?
Aku teramat takut, semua nilai yang kau mahkotakan padaku akhirnya tak berarti apa-apa.
Ketakutan ini mencubit mesra tiap senti pembuluh darah, tetap sakit. Percayalah, ini sakit.

Minggu, 24 Agustus 2014

You're Accepted, Me?

Tenggorokanku lebih rela tergorok sadis seketika, terlucuti dan terpisah daripada harus menanggung perih cekatan kalimat yang mendobrak brutal ke luar. I wanna say, "I didn't know what happend in me, actually" but it's so classic. I just.. dissapointed.

Now, feeling sorry is not enough, I guess :)
Too much "Sorry" just make this more.. and make you more.. hhhmmmmm..

"Just leave it, or it can be complicated, okay?"
Yeah, I knew, you were trying to make it simple, indeed you already know that this shit situation can not be simple.

Akhirnya, aku semakin sadar, tentang pertanyaan yang paling pantas untuk aku, atau kamu, atau kita.
Sepenuhnya aku menerima, sepenuhnya duniamu menerima?
You're accepted, you know that.
Me?

Kamu lentur, mudah, dan bijaksana.
Aku keras, susah, dan spontan. Dan duniamu yang teramat tak kumengerti sebelum ini, menjadikanku spontan untuk menarik diri.
Tolong sampaikan maafku pada gemerlap duniamu yang tak kupahami, memandang dari jauh saja aku tak percaya diri, apalagi aku harus melangkah mendekat dan saling sapa kemudian bergandengan untuk jalan bersama... itu membuatku gemetar dan berguncang tak keruan.
Ditambah, "Kok kamu gitu, aku gak suka."
:)
Ya, sikapku sangat tak sopan bukan?
Maaf, sekali lagi maaf.

You're accepted, you know that.
Me?

Selasa, 19 Agustus 2014

Flash Post: Entah

Ada kata lain selain rindu? kangen?

Aku pernah menamainya dengan abu-abu, sekarang aku tersesat pada kelabuku sendiri.

Bagaimana bisa setapak kulepas dan bebas, pun ketika berpijak saja tak kuasa?

Nada sumbang yang kutelan sendiri kini menjalar dan menadi...



Apa yang sedari tadi kubimbangkan?
Logikaku saja tak memproses, sudikah kalian?

Senin, 07 Juli 2014

Terima Kasih, Bijaksana


ketika pecah, sudah!
aku merana sendiri menerima hina dina dan terhempas berantakan seadanya.
kalian? kemudian menyalahkanku atas nokta merah ketololan otakmu.
lalu, sejenak berpindah pada singgasana menjijikkan dan kotor, ada masa dimana aku kembali merasa berharga.
sama seperti saat kali pertama kucium aroma nafas kehidupan, harumnya sama, lebih hangat malah.
pecahanku, menjadi istimewa.

kamu, yang bijaksana, terima kasih.




Jumat, 27 Juni 2014

Flash Post: Bukan Sampai Jumpa, Ini Selamat Tinggal

Suatu pagi, mataku terbuka perlahan masih dengan rasa was-was, jingga tetap bertengger pada singgasana atau kah telah memudar seiring meningginya Sang Surya?

Pagi itu, pertama kalinya tak kurindukan bias-bias jingga yang mencuri pandang dari celah jendela.

Ngga, kagumku teruntukmu akan tetap seperti namanya dari awal kutulis hingga hari ini.
Tenanglah, kau kini tak lagi kurecoki dengan tanda tanya yang kau bilang, "Memuakkan."
Kubiarkan mentari meninggi pada jalurnya dan memudarkanmu, seperti seharusnya.
Bukan ku benci, tapi tau diri...

Senin, 19 Mei 2014

Flash Post: Kemudian Terlalu Bingung

Kemudian datang, kerlip-kerlip yang merayu untuk merapat. Ahhh, aku terbuai.
Hangat, ketita mereka menjamah perlahan sisi hitam yang kusembunyikan.
Lalu, aku merasa, ada.

Anehnya, tak kusangka rasanya sesesak ini ketika "ada".

Aku "ada" dan ada sesuatu.

Pernah bingung antara ingin mengeluarkan air mata dengan alasan apa? Atau malah terlalu banyak alasan yang mengacaukan logika sehingga bingung antara air mata atau tawa atau keduanya?

Selasa, 06 Mei 2014

It's A Totally Late Post

it's a totally late post I think :D
yea, there was many "to do list" in my brain that causing this post untouched..
so, uuhhmmm..
enjoy this video.
I hope, this thing can makes you inspired.
opps, I've forgot to tell you to introduce about this video.
eeuuumm...
It's a gift for my sister's sweet 17th, and... enough :p
check it out ^^

Selasa, 22 April 2014

Ini Tentang Hujan, Beri Judul Sendiri

Ternyata aku tak sekuat itu, stepping forward not makes my face stop to watch behind.

Suatu hari ketika hujan menjadi pereda gerah, ada sebuah pesan singkat yang menanyakan tentang "Apa yang terlintas di otakmu waktu hujan?" Maunya aku jawab asal, "Basah, mantel, cucian numpuk dan gak kering, batal jalan, keluhan," tapi jariku marah. Dia maki-maki otakku dan bilang kalau itu hal bodoh.

Hujan-hujanan, es krim, jendela besar, lampu kuning, main basket, having a stupid conversation with a silly man,
Kangen..
Hujan, dengan sejuta titik air yang terjun bebas entah dari kran air Tuhan yang mana, selalu berhasil merayu otakku untuk mengunjungi kotak-kotak usang dan berdebu pada sudut "whatch your step". Ketika satu persatu debu mulai ditiup dan berhamburan, aku menyerah untuk menolak membukanya. Kemudian, duduklah otakku dengan bersila, mengeluarkan perlahan semua yang ada. Kadang dia memerintah bibirku untuk tersenyum atau bahkan tertawa, namun yang sering dia lakukan adalah memaksaku untuk tertawa sedangkan yang sebenarnya ingin dia lakukan adalah mencari pundak terdekat.

Semakin hari, akan semakin banyak kotak kardus usang yang menumpuk di sana. Membakarnya? There is no fire to burn, no water to wet, no scissors to cut. Tuhan menciptakannya dengan ruang tanpa batas, that's why there is no that stuff.

I'm not grieving, I'm not sorry, because I've forgive them. But,
Ternyata aku tak sekuat itu, stepping forward not makes my face stop to watch behind.

___________________________________________

Sejuta titik air yang terjun bebas akan berakhir pada tempat yang berbeda, walaupun pada awalnya dia berasal dari kran Tuhan yang sama. Ada yang menggenang dan nyaman, ada yang mengalir dan mencari petualangan, ada yang tak peduli dan membiarkan titik air lain menggiringnya entah ke mana. Takdir? Yang benar saja, nyalakan panel imajinasi dan bayangkan bahwa tiap titik air punya cita-cita.

___________________________________

Lalu apa sebenarnya yang aku tangkap ketika hujan membasahi harapan-harapan manusia dan membuat mereka mengeluh karena air membuat sejuta langkah terhambat?
Aku menangkap senyum penjaja jasa yang menghitung lembar-lembar kusut di sudut halte berkarat atau pojok gedung-gedung angkuh atau di bawah jembatan penyebrangan, sambil membawa payung berwarna pelangi.

Pelangi, tak selalu tentang visualisasi dari pembiasan atas cahaya matahari pada titik-titik air hujan.
Hujan, tak selalu tentang air dan kelabu.

Flash Post: Kemudian Aku Merindu Berlebihan

Suatu sore, seperti adanya, aku menikmati perjalanan pulang dengan kecepatan terpelan sambil sesekali mencuri pandang pada biru dan putih yang melambai manja. Tiba-tiba sebuah adegan mesra di tepi trotoar membuatku cemburu. Oh, bukan bukan.. Aku tak bermaksud untuk mengingkari nikmat dan memupuk dengki, namun ketika sepasang kekasih tua masih menjalin kasih sayang sebagai bumbu manis yang indah di antara kemiskinan dan segala keterbatasan, membuatku tersenyum pahit merasakan hantaman pada palung hati. Berlebihan? Tangisku sore itu.. berlebihan?

Kemudian aku merindu..

Minggu, 20 April 2014

FlashPost: Ada, Banyak, Ribuan, Jutaan, Seharusnya

Banyak warna yang bisa kita raba saat jemari tebuka.

Aku dan keresahanku, perlahan mengumpulkan jawaban. Dari remah roti tetangga, hingga kepingan emas yang sengaja dibuang oleh penjaja kemiskinan.

Ribuan harmoni dapat terbaca ketika telinga tak pernah sombong untuk menerima.

Kemarin dan jutaan detik yang terbuang, menuntun kekosonganku pada wangi coklat penghapus karet hingga anyir "angin sorga" dari mulut tikus negara.

Jutaan syukur, bahkan tak hingga, seharusnya.

Tuhan telah menciptakan skenario luar biasa istimewa, aku dan kamu tinggal menjalankan peran. Bahkan buku panduan telah Tuhan turunkan, aku dan kamu tinggal mengaji memelajari.
Mungkin kita terlalu mengumbar euforia, hingga ketika mendapat kulkas baru, kita tak sempat membaca buku petunjuk penggunaan.(tak sempat a.k.a tak mau)

Jumat, 18 April 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #8

"Kamu lagi ngapain? Cepet pulang ya, kasihan Bunda tiap hari kuatir sama kamu," lanjut Dev dengan gemetar. Ada yang mencekat di tenggorokannya, seperti memaksa untuk keluar tapi tertahan.
"Nis, aku pamit. Nanti siang aku uda harus terbang ke Kalimantan." Mata Dev mulai berembun. Kemudian dikecupnya pelan jemari Anisa, "Aku Kangen."

___
Ada yang bergerak di sela telapak tangan Dev. Dev sedikit terkejut tak percaya, ditatapnya sekali lagi jemari lemah yang digenggamnya. Sepuluh detik, dua puluh detik, tiga puluh detik berlalu dan meremas harapan Dev. Gerakan tak terjadi lagi.

"Hmmmmm, haaaahhhh.." Dev menghela nafas panjang dengan tatapan hampa pada seorang yang pernah menjadi penadah atas luapan  kasih dan sayangnya. Anisa masih membisu, gerakan singkat tadi ternyata hanya ilusi Dev. Mungkin Dev terlalu ingin melihat bibir Anisa tersenyum untuknya sebelum dia pergi ke Kalimantan, hingga keinginannya memicu otak untuk menciptakan ilusi singkat seperti fatamorgana. Diletakkannya perlahan jemari Anisa, "Assalamu'alaikum, Nis. I'll be glad to see you smile again, someday.."

Bunda yang sedari tadi telah selesai mengganti bajunya, mematung menahan nafas dari balik dinding kamar mandi, beliau dengar semuanya.

Dev menengok jam tangannya sekilas kemudian beranjak untuk berpamitan pada bunda Anisa. Tepat ketika Dev akan mengetuk pintu kamar mandi,

"Nak Dev? Ngapain berdiri di sini? Nungguin Bunda ya? Maaf lho, lama.." Bunda tersenyum lembut seperti biasa.

"Oh, enggak kok. Saya cuma mau pamit, harus buru-buru ke bandara."

"Lho, kok tiba-tiba? Aduh, Bunda minta maaf ya. Nak Dev jauh-jauh ke sini malah gak ditemenin."

"Gak perlu Bunda, saya memang cuma mau berpamitan, sama Bunda.. sama Anisa..."

Ditengah percakapan mereka, rupanya ada harapan yang mulai terjawab.

"Assalamualaikum.." pamit Dev.

 Jawaban atas jiwa yang mulai menemukan jalan pulang.

"Waalaikumsalam.." jawab Bunda.

Kini, dia telah pulang. Perlahan meraba pendar cahaya yang masih buram pada matanya. Jiwa yang tersesat sudah bernafas dengan sadar, mencoba merangkai kembali tentang dirinya, Anisa.
___
Ada, kalimat yang diam-diam telah tertata rapih, namun terbungkam. Kalimat itu disembunyikan dalam-dalam agar tak terdengar, tak terlihat, tak terbaca. Kalimat dengan kumpulan rasa cemas dan rindu, namun terbungkus dilema yang sangat tebal itu membuat kekalahan terjadi tanpa perlawanan.
Hai, Kamu! Ya, Kamu! Aku rindu
Dan sekali lagi, pesan singkat itu hanya menjadi penghuni folder draft. Jemari yang mengetiknya tak berdaya.
___
to be continued

Minggu, 06 April 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #7

Ctik!

Bhhzzzz...
Dengan ajaib, di hadapanku menjadi layar proyeksi tiga dimensi yang memunculkan gambar semut seperti televisi yang sedang kehilangan signal.

___
Cetik.. cetik.. cetik.. mulailah muncul beberapa huruf yang terangkai.

"Emier Lazuardi..
 aku ingin..
 ya, aku ingin..
 aku ingin mencintaimu dengan sederhana:  
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api 
yang menjadikannya abu  
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;  
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan 
yang menjadikannya tiada.."
Kalimat itu terhenti disusul dengan memudarnya layar di hadapanku. Kemudian dari kejauhan muncul sesosok pria bertubuh sedang, tidak tinggi juga tidak pendek, berjalan santai menghampiriku.

Dia terlihat begitu casual dan rapi dengan kemeja denim dan celana jeans yang lengkap bersama sepatu burlap abu-abu. Sesekali senyum simpul ia lemparkan kepadaku sambil membetulkan tatanan rambutnya yang basah. Raut wajahnya teduh dan .. tampan.

Tuhan, inikah malaikat-Mu?

Tap.. tap.. tap..
Oh. No! Semakin dekat langkahnya semakin merdu terdengar.

"Hai, Kamu!" sapanya dari jarak yang memungkinkanku untuk menikmati keindahannya.

Jika di dunia menamakan jantung yang berdegup lebih hebat dari biasanya adalah jatuh cinta, mungkin ini lah yang namanya jatuh dari jatuh cinta. Jantungku bahkan hampir lupa bagaimana caranya berdegup.

"Aku?" balasku gugup.

"Iya, Kamu!" Pria itu tersenyum sembari meraih jemariku, "Aku rindu."
___
Tiit.. tiit.. tiit..

Suara elektrokardiogram menjadi satu-satunya penabuh gendang telinga pada ruang bertembok putih ini. Ruang yang terhitung mewah dengan segala fasilitas kelas satu, namun tak menjadi sebuah kebanggaan bagi penghuninya. Telah terbaring lama dan tanpa suara di ruang ini, Anisa Verdiana Maharani, pada sebuah ranjang putih dan berhias juntaian selang-selang bening di tubuhnya. Dadanya masih terlihat naik-turun, namun jiwa yang hidup tak  pernah terlihat lagi sejak kecelakaan yang menimpa Anisa bulan lalu.

Hari masih terlalu muda, lantai pun belum terjamah kain pel, namun ada wajah letih yang masih terjaga dalam sujud pada Tuhannya.

"Assalaamu'alaikum warohmatullaah.." gumam bunda Anisa, mengakhiri shalat subuhnya. Setelah beberapa saat khusyuk dengan doa, pintu ruang inap itu tiba-tiba terketuk dan membuat bunda segera menyudahi doanya untuk membukakan pintu.

"Assalamu'alaikum.." salam seorang pria, sang pengetuk pintu.

Bunda membalasnya dan mempersilahkannya untuk masuk, "Waalaikumsalam, eeh nak Dev, pagi-pagi sudah ke rumah sakit. Ayo, masuk dulu. Bunda ganti baju sebentar ya."

Dev tersenyum hangat sembari berjalan menuju kursi di samping ranjang Anisa. Mata Dev begitu lekat memandang wajah layu wanita yang sedang tertidur panjang di hadapannya. Ada secangkir rindu untuk wanita itu yang selalu dijaga oleh Dev agar tetap hangat. Bahkan tak pernah berubah sejak hari pertama Dev menyatakan cinta hingga detik ini, saat semuanya telah terputus tiga tahun lalu.

Dev meraih jemari Anisa perlahan, "Nis, gimana kabarnya?" bisik Dev lirih.

"Kamu lagi ngapain? Cepet pulang ya, kasihan Bunda tiap hari kuatir sama kamu," lanjut Dev dengan gemetar. Ada yang mencekat di tenggorokannya, seperti memaksa untuk keluar tapi tertahan.

"Nis, aku pamit. Nanti siang aku uda harus terbang ke Kalimantan." Mata Dev mulai berembun. Kemudian dikecupnya pelan jemari Anisa, "Aku Kangen."
___
to be continued



Sabtu, 05 April 2014

Aku Menamakannya ...

Aku menamakannya dengan "Koma".
Keadaan di mana otakku merindu untuk tidak gelisah atas gemuruh dan gegap gempita yang hilir mudik kemudian memburamkan mata. Juga merindu untuk menikmati waktu yang berjalan lambat, tak memburu, tak berambisi. Serta merindu tentang kesederhanaan pada semua ekspresi dunia.
_______________________
Aku menamakannya dengan "Abu-abu Gelap".
Ada saat kata-kata mendadak mati namun hati ingin menyampah. Juga ketika menyapa tak mungkin tersaji hingga menjadikan degup jantung tak miliki jiwa untuk berbagi nafas lagi. Serta di mana ada secangkir kangen yang terjaga agar tetap hangat, mendingin.
______________________
Aku menamakannya dengan "Jingga".
Aku juga menakannya dengan "Biru".
Mungkin suatu hari aku akan memberinya nama baru lagi dengan, "Langit".
Semakin hari, akan semakin banyak nama yang akan kuhadiahkan untuknya.
______________________

"Kamu lesu banget, kenapa?"
"Lagi sakit, Nis?"
"Ya ampun! Pikunmu itu semakin menjadi. Banyak pikiran?"
"Woy! Kalo nyetir jangan ngelamun!"
"Kemarin gak masuk ke mana? Bolos kan?"

Aku bersyukur, kalian menyayangiku :)
Aku bersyukur, Tuhan menciptakan kalian untuk dipertemukan denganku :)

Lalu, kemudian,

Aku hanya sedang menikmati "Langit" sebagai dalang tentang kisah cinta antara "Jingga" dan "Biru".
Pada suatu jeda, mendadak "Langit" menyuguhkanku sepotong "Abu-abu Gelap" yang kutelan perlahan dan mencernanya dalam balutan rindu yang membunuh.
Aku belum mati, aku "Koma".
_______________________
Aku kangen kamu titik

Selasa, 25 Maret 2014

Blue, Aku Layu

Hi, Blue..
Lama tak berbagi rasa dan cerita :)
Bagaimana tentang harimu? 
Aku? Masih saja di sini, seperti biasa, tak ada yang berubah.

Aku mulai kehilangan arah, hampir tersesat.
Tenggorokanku kering, kehausan.
Blue, aku layu.

Kau bilang, rasa juga bisa berkarat saat tak berpayung dan berselimut, dan benar adanya.
Sayangnya, karat mengaratkan semangatku.

Kemarin, ada senyum lain yang mengalihkan pandang dan perhatianku sejenak.
Sekarang, senyum itu sudah pulang, dan aku juga harus pulang.
Besok, mungkin bisa kutemui lagi, namun besok entah ada atau tiada.

Blue, aku layu.
Dahagaku telah sampai pada pijakan tertinggi.
Dahagaku butuh "air"

Senin, 24 Maret 2014

Flash Post: Temukan!!!!!

Aku tahu diri, ini memusingkan.
Aku sibuk sendiri, ini membingungkan.

Aku rindu, rindu berharap.
Aku kangen, kangen merindu.

Aku, kamu, belum ada kita.
Aku, kamu, mungkin bukan kita.
Aku, kamu..

Jarak, kubuat untuk ditemukan!
Temukan!

Kamis, 20 Maret 2014

Pembelaan Tapi Logis kan?

Ternyata banyak yang mengeluh dengan gaya ngobrol orang-orang jaman sekarang. Dari mulai baca blog, dengerin radio, nonton tv, sampai ngerumpi di kantin, semuanya ngeluh soal gadget yang katanya "bisa mendekatkan yang jauh" eh nyatanya bikin kita jauh dari orang terdekat.

Tadi, waktu ngopi di cafe yang kebetulan nongol pas gerimis mulai turun, ada dua mbak-mbak yang kelihatannya sahabatan, ngikut neduh dan ngopi di samping mejaku. Sebenernya gak ada niat buat merhatiin tingkah mereka berdua, tapi terlihat. Bukannya ngobrol, malah asik sama gadget masing-masing. Saking serunya mereka sampai sesekali mereka noleh kesel ke arahku yang tiba-tiba ngakak tanpa sebab. Wajar dong ya kalo aku yang ketawa-ketiei sendirian, kan aku emang dateng sendirian. Lha mereka?

Bukannya menggurui atau mau menjatuhkan, tapi aku jadi sedikit gak terima karena aku pernah kena semprot dan berlabel "freak" gegara aku lebih suka nongkrong di cafe sendirian berteman novel atau buku tulis atau tugas atau notebook. Lha justru aku masih waras makanya aku lebih suka nongkrong sendirian dari pada ngajak temen yang akhirnya ntar saling sapa lewat chatting juga (padahal sebelahan). Buat apa??

Yaaaahh ini mah emang tulisan sebagai pembelaan terhadap ke"freak"anku, hehehe.
Tapi, logis kan?

Rabu, 05 Maret 2014

Flash Post: Hello, Stanger!

Asing, tapi tak asing.
Dekat, tapi tak dekat.
Jauh, mungkin sangat.
Bisa jadi muncul dengan cepat lalu menghilang bagai asap.

Namun, ada sesuatu yang tergelitik saat tersentuh sedikit.
Namanya...

Hmmm, kadang rahasia lebih indah dengan tetap menjaga kerahasiaannya.

Hello stanger, do you think about me?

Selasa, 04 Maret 2014

Aku Bodoh Karena Meniadakanmu

Suatu hari, ketika kotak menjadi begitu sunyi dan masa mendekati malamnya, aku menemukanmu masih cantik dan menggoda. Kau, manakala sedang termenung dan bergumam pada jiwamu yang sepi, kusapa pelan dengan hati-hati. Kuajak kau membunuh hampa, namun.. rupanya ucapku tak terlalu indah terdengar atau penampangku bukan yang kau idamkan atau dunia menjadi terlalu asing hingga tak ada hasratmu bertukar kata.

Urung, malam itu aku kembali tidur sendiri, menampik jauh tentang mimpi hangat merah muda serta kuning ceria juga sendu romantis sang jingga.

Pagi-pagi sekali, doaku terjawab, kau dan aku akan tinggal dalam kotak yang sama. Kau, bahkan semakin menggairahkan, ketika baru membuka jendela hari setelah berpeluh dalam mimpi semalam. Namun, bisu masih menjadi namamu. Tak mengapa, aku sabar.

Kau, si merah jambu yang lengkap dengan wangi ranum buah strawberry, sepanjang siang berpaling muka. Entah mengapa bisa begitu angkuh dikau padaku, mungkin wangi kayu lame yang mengusikmu atau.. entahlah..

Sudah kupikirkan matang-matang, kau mungkin bukan tipe yang suka terlihat tak lagi indah, sudah kupikirkan caranya. Aku terlalu mengagumimu hingga kubuat aksara yang sempurna, tak ada lagi jahil dengan sengaja membelot agar tak kubutuhkan kau untuk memperbaikinya. Sesekali, pernah aku terpeleset tapi tak kupanggil kau, si merah jambu. Dengan sigap kutempelkan kepalaku pada coretan yang salah, kuhapus sebisaku.
Aku rela, asal kau tak terluka.
___
Kau menyakiti hatiku! Aku hidup juga memiliki arti dan ingin berguna, tapi kau malah membuatku tampak bodoh dan sia-sia. Kenapa?! Cacimu di suatu malam.

Tangismu membanjiri hatiku yang telah tersayat oleh jemariku sendiri.
Tak kukira, dengan menjagamu justru membunuhmu perlahan.
Maaf..

image source: http://www.wired.com/images_blogs/wiredscience/2011/10/pencil-eraser-flickr-mujalifah.jpg

Senin, 03 Maret 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #6

Aku berlari, mencari asal petikan gitar yang sangat familiar ini dan sepertinya ada sesuatu dengannya. Dadaku bergemuruh,
In a far land across
You’re standing at the sea
Then the wind blows the scent
And that little star will there to guide me
dan pelan-pelan aku melafalkan lirik yang sama. Ya, aku mengenal lagu ini.
___
Kutemukan sebuah piringan hitam berputar-putar diatas gramophone kayu yang terlihat cantik dan indah. Gramophone itu menjadi satu-satunya yang berwarna sekarang.
If only I could find my way to the ocean 
I’m already there with you 
If somewhere down the line 
We will never get to meet 
I’ll always wait for you after the rain
Jemariku menelusuri tiap sudut gramophone cantik itu dengan hati-hati, masih dengan bibir berkomat-kamit. mengekori lirik lagu yang terputar. Entah bagaimana cara menjelaskan bahwa lagu ini sangat kuhapal bila judulnya pun aku tak ingat. Namun kubiarkan nada-nadanya memenuhi gendang telingaku hingga kenyang, kubiarkan harmoninya memelukku hingga sesak.

"I'll always wait for you after the rain.."

Nadanya habis, aku terpaku sesaat bersamaan dengan piringan hitam yang tak lagi berotasi. Kretek.. kretek.. kretek.. kuputar engkel disaping gramophone, kuayunkan jarum gramophone untuk kutempelkan pada piringan yang telah berputar kembali. Aaaahhh... Kupenuhi rongga dadaku dengan udara, mataku terpejam, kepalaku terangkat.

Pletak!! Aww..!!

Kugosok-gosok kasar jidatku sambil menahan sakit. "Sakiit.. Apaan sih tiba-tiba main jatuh aja," dengusku kesal. Baru saja kumulai dramaku sendiri untuk menikmati romantisme yang ada tapi sesuatu yang menimpa jidatku membuyarkan semuanya dengan nakal. Kucari benda misterius apa yang sebenarnya dengan lancang mendarat di atas jidatku. Dan yang kutemukan adalah sebuah remote control kecil berwarna abu-abu. Kupungut juga mengutuknya, karena walaupun kecil tetap sakit jidatku ditimpanya.

Hmmm... Aneh, pikirku. Remote ini hanya punya dua tombol, satu bersimbol "play" dan yang lain "stop". Pasti ini bukan milik gramophone itu, jelas-jelas piringan hitam kuputar secara manual tadi. Kupandangi lekat-lekat, penasaran.

Ctik!

Bhhzzzz...
Dengan ajaib, di hadapanku menjadi layar proyeksi tiga dimensi yang memunculkan gambar semut seperti televisi yang sedang kehilangan signal.
___
to be ontinued
___

Minggu, 02 Maret 2014

Kamu Adalah Dunia, Sedangkan Aku Cuma Manusia

Kamu adalah dunia, sedangkan aku cuma manusia.
Kamu lakukan rotasi tiap hari dengan segala daya dan tanggung jawab, sedangkan aku cuma manusia.
Kamu berevolusi dan merayu mentari agar tetap berpijar di tempatnya untuk menghangatkan manusia, sedangkan aku cuma manusia.
Kamu punya baju pelindung bernama atmosfer, sedangkan aku cuma manusia.

Akulah manusia, Khalifahmu, seharusnya.
Namun sepertinya, aku bukan manusiamu. Sebab, kamu menjadi sembab.

Kemudian, aku berharap punya dunia yang lain...

Lalu, kamu?

Rabu, 26 Februari 2014

Antara Menunggu, Adhitia Sofyan, dan Moodbooster

Sore-sore setelah hujan, ada janji ketemuan sama wartawan, tapi gagal (lebih tepatnya diundur sih :p). Yah, wartawannya juga bukan mau wawancara tentang aku, tapi ada event amal yang lagi aku persiapin bulan ini. Akhirnya motorku belok ke cafe biar gak bete berkelanjutan.

Setelah masuk dan pesen kopi (cemilan juga lah, haha), sengaja milih tempat duduk yang empuk trus sebelahnya kaca yang super gede. Gak tau kenapa ya kalo nongkrong, duduknya di sofa sambil lihat awan mendung, minum kopi, gulat sama laptop, kayak lagi nyiptain moodbooster gitu. Dan kemudian gerimis romantis turun lagi >_<

Awalnya bingung, mau ngapain. Buka gugel tapi gak ada keyword yang nyantol, mau buka yutub tapi gak bawa earphone. Gak lucu kan kalo orang lain denger apa yang lagi aku buka di yutub (jangan bayangin kalo aku buka yang aneh-aneh walaupun itu mungkin aja kejadian, hahaha). Akhirnya aku kelarin kerjaan buat imel-imelan sama PR dan orang-orang yang perlu di-imelin. 

Setelah kelar, hadirlah kegalauan yang kedua. Sebenernya mau lanjutin "Judulnya: Januari, Warnanya Kucari" tapi lagi not in mood, jadilah aku buka blog temen-temen dan baca-baca ngalor ngidul. Di tengah-tengah jelajah di dunianya temen, tiba-tiba keinget sama blog yang belum khatam aku baca, blognya Om Adhitia.
FYI ya, Om ini tuh gak ganteng tapi nyenengin. Eh, bukan berarti aku doyan Om-om lho ya -_-". Yang bikin nyenengin itu pas dengerin lagunya. Lagunya unik, serius! Buat orang yang berprinsip galau is my life, lagunya Om Adhitia adalah solusi. Kenapa? Karena lirik sama aransemen lagunya tuuuuuuuhhhh galau abis tingkat dewa dunia dan akhirat lah pokoknya.
Nah, aku lanjut baca nih, ternyata Om ini punya sense of humor yang lumayan bikin aku cekikikan sendiri lah :D. Di balik liriknya yang gundah gulana resah dan gelisah itu, Om Adhitia kelihatannya sosok yang friendly dan gak se-kelabu lagunya. Cuman yaaaaaa, in the deep way, pasti Om Adhitia ini tipe-tipe pemikir dan total dalam menjalani kehidupannya (cieeeee bahasanya nggilani). Tapi beneran lho, kan kelihatan tuuh dari lirik sama caranya dia bawain lagu. So touching!!

Eh, lagi seru-serunya ada sms, "Mbak, hari ini saya ada di radio. Kita ketemuan habis maghrib, bisa?" It's a miracle, kan?? What a wonderful of waiting, kan jadinya, hahaha. Soalnya ya, orang yang sms ini tadi tuh super duper triple sibuk. Aku yang gak sibuk jadi sempet bete pas kemaren-kemaren beberapa kali nyamperin tapi gak ketemu dan sms berjuta-juta kali gak dibales dan telepon sampe hpku ngambek tapi gak diangkat.

Tulisan ini dibuat sebagai penutup acara penciptaan "moodbooster" serta pengisi kekosongan antara ketemu orang penting dan menghabiskan kopi :)
Sengaja nulis agak belepotan begini, mau cari suasana yang beda.

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #5

Aku takut? Jelas! Hati kecilku menolak semua yang tertangkap oleh mataku. Namun, bukankah ini drama yang membahagiakan? Dev telah bahagia dengan pilihannya dan aku berhasil hidup bersama dengan pria yang kupuja. Tapi.. tapi..

Ckiiiiittttttt... Bruak!!

Aduh.. Sakiitt...
___
"Ada yang tertabrak!!"

Riuh suara tapak kaki terdengar berbondong-bondong menghapiriku. Orang-orang itu ribut sekali tapi aku tak bisa menimpali, semua sarafku serasa lumpuh. Bahkan beberapa saat kemudian wajah-wajah bingung orang-orang itu semburat dan buram lalu gelap.
___
"Eeengghhh... Aduh, mimpi sialan. Aneh banget."

Aku mengerang seperti anak kecil karena memang mimpi barusan membuat badanku seperti habis terpeleset setelah lari maraton tiga jam lalu tertindih pesumo yang berbadan sebesar gunung merapi. Kurentangkan kedua tangan dan kakiku, mulet kata orang jawa. Kegiatan ini memang sangat manur untuk melemaskan tubuh pasca bangun tidur, biar gak bedlag. 

Setelah mulet, menguap, dan mengusir kotoran di sudut mata, aku baru sadar bahwa ini bukan kamar tidur hijauku. Lagi-lagi aku terdampat di ruang asing. Namun kali ini seperti bukan di mana-mana, hanya ada warna putih sejauh yang kulihat. Imajinasiku kembali liar, Jangan-jangan tadi bukan mimpi dan aku sudah...
___
Tempat tidur putih tadi sudah tertinggal jauh di belakang tapi tempat ini masih putih dan sunyi. Belum juga kutemukan seseorang yang bisa kujatuhi pertanyaan, anehnya aku merasa aman.

Lelah berjalan, kubaringkan tubuhku pada lantai. Kubiarkan ragaku tergeletak seadanya kemudian kunikmati sunyi dengan melayangkan pandanganku pada langit yang juga putih. Mungkin ini bukan surga karena tak kutemukan sungai susu dan taman buah juga para pelayan. Mungkin ini juga bukan neraka karena tak kutemukan api maupun siksaan. Namun jiwaku terasa damai, tak ada lagi urusan yang harus kupikirkan, nafasku pun terasa begitu ringan, aku betah.

Beberapa saat, kekosongan pikiran membuatku tertidur, kemudian aku terbangun oleh petikan senar nilon yang indah.
If I could bottled the smell of the wet land after the rain
I’d make it a perfume and send it to your house
If one in a million stars suddenly will hit satellite
I’ll pick some pieces, they’ll be on your way

"Lagu ini.."

Aku berlari, mencari asal petikan gitar yang sangat familiar ini dan sepertinya ada sesuatu dengannya. Dadaku bergemuruh,
In a far land across
You’re standing at the sea
Then the wind blows the scent
And that little star will there to guide me
dan pelan-pelan aku melafalkan lirik yang sama. Ya, aku mengenal lagu ini.
___
to be continued
___

Selasa, 18 Februari 2014

Hari ini Aku Menggambarmu, Blue!

Hey, Blue!

Hari ini aku menggambar!
Menggambarmu, Blue.
Tapi hari ini aku tidak mewarnaimu, kamu jelek!

Kamu jelek karena kamu menari-nari sendiri dari jauh, mengejek ketololanku di bumi.
Padahal kamu tahu, aku sedang berjuang. Berjuang untuk rasa syukurku.
Berjuang untuk nama damai yang telah kutulis besar-besar di depan jidat.

Kamu tahu, Blue, kelabu berlarut-larut meneriakkan hal yang sama berulang-ulang. Aku ingin mengeluh pada Tuhan, tapi kerjaanku selalu mengeluh ketika menghadap-Nya. Jadi urung kulakukan.
Beratus jam yang lalu, kutahan dukaku sendiri.
Berlembar tisu kemarin, kuhadiahkan pada kubangan pilu saudaraku.
Dan kamu hanya mengintip nakal dari balik semak kering, atau atap roboh, atau kaca pecah, atau rumah kosong, atau selimut bolong.

Aku jadi tahu sekarang tentang opera kolong meja yang pernah kau senandungkan.
Aku juga jadi ingat tentang lirik om Ebiet yang sering kau eja,
Mungkin Tuhan mulai bosan 
Melihat tingkah kita 
Yang selalu salah dan bangga dengan dosa-dosa 
Atau alam mulai enggan 
Bersahabat dengan kita 
Coba kita bertanya pada 
Rumput yang bergoyang
================================================
Hey, You!
Yes, You!
I miss you, Blue ({})

Aku gak suka kita ngobrol macam begini, aku lebih suka menatap matamu ketika bercerita, aku lebih suka mencermati gerak bibirmu ketika tertawa, aku lebih suka menikmati waktu yang terlewat ketika kita bersama.
Makanya,
Hari ini aku menggambar!
Menggambarmu, Blue.
Tapi hari ini aku tidak mewarnaimu, kamu jelek!

Cepat hampiri jingga pagiku dan merah senjamu.
Tempat kita berbagi huruf "A" dan teman-temannya.
Jangan lupa berbaring di bawah bintang merahmu dan berjuta bintang kecilku.
Tempat kita melupakan huruf "A" dan teman-temannya.

Dengan kegundahan dalam merindumu,

en

Kamis, 13 Februari 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #4

Pertanyaanku disambut dengan tawa renyah Dev, Devdas Aruna, "Ya belanja, Nis. Kamu sama siapa? Emier?" lanjutnya.

Tuhan, apa lagi ini? Dev kenal Emier?

___
Berbagai hal mengejutkan datang bertubi-tubi. Aku telah menikah, Dev mengenal Emier, dan sekarang aku sedang menyesap coklat panas bersama kebingunganku ditemani oleh Dev dan istrinya, Edna Lutia Yuki. Sebagai pelengkap hal aneh yang telah terjadi, Edna adalah sahabatku ketika kuliah dan seingatku Edna tak pernah menyukai Dev. Edna adalah orang terdepan yang paling membara yang menyuruhku untuk memutuskan hubungan dengan Dev.

Dev dan Edna bercerita banyak sekali, mulai dari persahabatan kami bertiga, pernikahan mereka yang hanya berjarak seminggu dengan pernikahanku, bulan madu ala bagpacker yang sering kami bertiga impikan akhirnya terlaksana, hingga mereka tersenyum bertatapan dan mengungkapkan tentang penantian bahagia menuju keluarga yang utuh yaitu kelahiran anak pertama mereka.

"Jadi, kapan kamu isi?" Tanya Edna kemudian.

Uhuuk.. Terkutuklah gumpalan coklat di cangkirku yang membuatku tersedak, "Ehm, aku belum kepikiran. Mungkin karna aku dan Emier masih mau pacaran," jawabku asal. Asal terlihat aku sedang menikmati fakta aneh yang terjadi.

"Cieeee.. romantis yah, Ay." sahut Edna pada Dev. Mereka tertawa. Aku? Tersenyum sekenanya, melengkapi drama yang kubiarkan mengalir.
___
"Kamu gak dijemput Emier?"

"Enggak, aku bisa naik taksi."

"Kita antar pulang aja yah?" Kali ini Edna seperti sedikit memaksa. Kepaksakan tersenyum lebar, memastikan bahwa aku benar-benar tidak apa-apa jika pulang sendiri.

Dev dan Edna melambaikan tangannya dari dalam mobil, kubalas masih dengan senyum terpaksa. Kami berpisah di tempat parkir, aku berjalan menuju jalan raya untuk mencari taksi.

Sebenarnya apa yang sedang terjadi? Pertanyaan itu yang selalu terulang oleh hatiku. Semua orang memaksaku untuk berpikir, namun semakin kucari kejelasan semakin bias dan tak dapat kucerna sama sekali. Aku memang belum menghubungi ayah dan ibu karena aku takut mereka akan membuat drama ini semakin terlihat nyata.

Aku takut? Jelas! Hati kecilku menolak semua yang tertangkap oleh mataku. Namun, bukankah ini drama yang membahagiakan? Dev telah bahagia dengan pilihannya dan aku berhasil hidup bersama dengan pria yang kupuja. Tapi.. tapi..

Ckiiiiittttttt... Bruak!!

Aduh.. Sakiitt...
___
to be continued
___

Sabtu, 08 Februari 2014

It's a Letter For You (Blue)

Hai, Blue, lama tak berjumpa :)
Kemana kau bertualang? Mengapa tak ada kabar? Bahkan berpamitan pun tidak.
Kau tahu, aku merindukan kalimat-kalimat singkat yang kita tukar di tengah denting waktu.
Hey, tapi kemarin kau hadir dengan tiba-tiba sambil mencium kuncup imajiku yang hampir kering, terima kasih.
Dan aku bangun dengan senyum terkembang.

Lama tak menyapamu semakin membuatku kelu sebenarnya, tapi Blue, kau selalu tahu bagaimana mencairkan kebekuan di antara kita.

Blue, janji ya kau akan cepat kembali.
Pamerkan lagi gigi-gigi rapimu bersama jingga pagi padaku :)

Oh ya, suatu hari saat kujiplak sketsa lekukmu, boleh kan kuperlihatkan pada dunia?
Aku ingin dunia tahu betapa manisnya senyum lebarmu yang lengkap dengan ekspresi tengil itu >_<

Dengan sejuta rindu,

en

Sabtu, 25 Januari 2014

Pernah?



Pernah membayangkan betapa menyenangkannya jika kita mempunyai sayap?
Pernah membayangkan betapa cantiknya jika kita seindah kupu-kupu?
Pernah membayangkan betapa kerennya jika kita bisa berubah dari seekor ulat berbulu menjadi cantik dan berwarna-warni?

Pernah terpikir bahwa hidup kita tak lebih baik dari hidup hewan?
Pernah terpikir bahwa waktu kita terbuang lebih sia-sia dari waktu yang digunakan oleh seekor kucing untuk tidur?

Pernah merasa lebih hina dari anjing yang daging dan liurnya haram bagi umat Muslim?
Pernah merasa iri karena tidak bisa lebih terhormat dari sapi bagi umat Hindu?

Pernah?

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #3

Ternyata aku baru terbangun dari mimpi dan aku tertidur di depan laptop di atas meja kerjaku.

"Makasih ya, Mas Emier." senyum lebarku yang aneh karna masih lemas dan ling-lung, disambut dengan cubitan di pipi kananku oleh Emier.

___
Kurasa pekerjaanku adalah seorang penulis. Karena setelah aku cek semalam, ketika setelah terbangun dari mimpi, laptopku penuh dengan draft tulisan. Tulisan esay, cerpen, novel, maupun biografi, tersusun rapi pada memory hard disk laptopku. Satu persatu kubaca, satu per satu kecerna. Memang benar semuanya mengandung gaya tulisanku tapi aku tetap tidak mengerti. Aku tak pernah merasa pernah menulis semua itu.

Oh ya, satu hal lagi, Emier. Do you believe that we've maried? Aku bergidik semalaman karena harus tidur di sampingnya. Bahkan jantungku hampir berhenti ketika tangannya mendekap tubuhku dengan tidak sengaja. Oh, Tuhan, aku benar-benar bingung karena seingatku Emier masih menjadi tetangga berumah jingga. Tepat seperti mimpiku semalam, seingatku Emier masih menjadi tetangga berumah jingga. Emmm, kecuali gadis kecil yang ada difoto. Aku tak ingat pernah mengenalnya.

Gledek.. gledek.. gledek..
Trolly belanjaan kudorong perlahan masih dengan otak yang penuh dengan kekacauan. Isi trolly pun ikut kacau karena sebenarnya aku tak tahu harus belanja apa. Aku hanya ingin keluar dari rumah asing itu untuk menenangkan ketegangan dalam kepalaku dan hal paling logis yang terlintas dikepala selain kabur kemudian berteriak minta tolong seperti orang gila adalah belanja.

Aku berhenti pada rak minuman, entah kenapa aku berhenti tapi sepertinya ada hal wajib yang selalu aku beli ketika belanja. Kedua bola mataku menelisik satu persatu merk dan jenis minuman yang ada, mencari-cari sesuatu yang aku yakin mampu membuatku tenang. Dan...

Bruak..

"Aduh!"

"Eh, maaf. Kamu gak papa?"

Kuusap-usap tungkaiku yang terbentur trolly lantaran tertabrak oleh trolly orang ceroboh di hadapanku ini. Aduh ini orang bloon banget sih, runtukku dalam hati.

"Lho, Anisa? Sendirian?" lelaki ceroboh barusan semakin membuatku terperangah lantaran memanggil namaku dengan lantang. Kudongakkan wajahku padanya, jantungku kembali jumpalitan dan aku hampir hilang kesadaran.

"Lho, kamu? Ngapain?" pertanyaan bodoh itu saja yang mampu meluncur dengan lancar ketika aku sedang bingung. Bingung kenapa? Karena dia adalah mantan kekasih yang kutinggalkan lebih dari tiga tahun lalu. Aku menghindarinya agar dia tak lagi mengharapkan hubungan kami bisa kembali.

Pertanyaanku disambut dengan tawa renyah Dev, Devdas Aruna, "Ya belanja, Nis. Kamu sama siapa? Emier?" lanjutnya.

Tuhan, apa lagi ini? Dev kenal Emier?

___
to be continued
___


Rabu, 15 Januari 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #2

Tiba-tiba pandanganku terantuk pada sebuah bingkai foto paling kecil di antara bingkai lain yang tersusun rapi pada buffet antik di ruang tamu itu. Foto Emier bersama gadis kecil, mereka sedang di taman bunga, Emier dengan senyum manisnya duduk pada gazebo yang penuh dengan tanaman rambat dan hiasan balon warna-warni sedangkan gadis kecil itu berdiri di sampingnya sambil tertawa.
___
Aku penasaran, Siapa ya? Perasaan Mas Emier punya adik tapi udah kuliah. Tanganku spontan meletakkan pop up box dan ponsel yang sedari tadi kugenggam kemudian berdiri menghampiri foto itu. Tanganku mengambil foto berbingkai kayu ukiran jawa itu dan mendekatkannya dengan jarak pandangku. Semakin dekat kulihat, gadis kecil itu sangat mirip dengan Emier. Matanya, garis pipinya, bibirnya, lengkung alisnya, bentuk hidungnya, aku seperti melihat wajah Emier kecil yang terbungkus dalam tubuh seorang gadis. Siapa ya?

"Lucu, ya?" suara Emier mengejutkanku dan membuat tanganku meletakkan bingkai kayu itu dengan kasar. Sebelum pertanyaan dalam otakku semakin liar, Emier kembali muncul dengan tiba-tiba sambil membawa nampan berisi dua cangkir putih yang kemudian diletakkan di atas meja tamu.

"Eh, i..iiya, Mas. Cantik," jawabku gugup. Kubenarkan letak bingkai kayu itu kemudian kembali duduk.

"Silahkan, Nis. Seadanya aja yah, abis Mama lagi pergi. Di rumah juga cuman ada aku," ujarnya sambil terkekeh lucu. Senyumku yang kaku, kubuat senormal mungkin. Aku tak tahan melihat ekspresi Emier seperti itu, wajah lucunya selalu membuat jantungku jumpalitan. Kualihkan pandanganku pada cangkir putih berisi cairan berwarna coklat, yang masih berasap, di hadapanku agar pipi merahku tak terlihat olehnya.

"Iya, gak papa kok, Mas."

Kuraih cangkir putih itu dan mendekatkannya pada bibirku. Belum sampai kuminum, aroma khas coklat memenuhi rongga penciumanku dan menerbangkan alam khayalku. Kupejamkan mataku agar aromanya dapat kucerna jelas. Semakin dalam kuhirup, aromanya semakin jelas. Semakin penuh dadaku dengan rasa coklat, perlahan suasana menjadi berbeda.

Kubuka perlahan kelopak mataku. Aneh, rasanya sangat berat. Seperti mataku telah terpejam sangat lama. Perlahan cahaya putih dan beberapa warna buram tertangkap retinaku yang kemudian makin lama makin jelas.

"Aiihh, kasihan yang lembur.. Coklat panasnya, Sayang. Aku ikutan lembur buatin kamu coklat, maklumin yah kalo rasanya aneh," ujar lelaki di hadapanku disusul dengan tawa renyah yang tak asing di telingaku.

Ternyata aku baru terbangun dari mimpi dan aku tertidur di depan laptop di atas meja kerjaku.

"Makasih ya, Mas Emier." senyum lebarku yang aneh karna masih lemas, disambut dengan cubitan di pipi kananku oleh Emier.
___
to be continued
___

Selasa, 14 Januari 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #1

aku ingin ...
ya, aku ingin ...
aku ingin mencintaimu dengan sederhana:
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan
kepada hujan yang menjadikannya tiada

Kalimat itu berhenti terketik tepat ketika langkahku mati di depan bangunan jingga itu. Kualihkan pandanganku ke arah pintu coklat yang ada di depannya. Jarak kami masih sekitar dua puluh langkah lagi, namun rasanya lututku sudah kelu dibuatnya. Meraih gerbang coklat pemisah antara hidup dan matiku, kulakukan dengan sekuat hati dan keangkuhan ego. Jika tak begitu, maka apa yang telah aku rencanakan akan menguap tak berbekas.

Genggaman jemariku terlalu kencang hingga gerbang itu mulai gemetar hingga menciptakan suara decitan khas besi berkarat. Hatiku semakin cemas, buru-buru kulepas gerbang itu dan mundur perlahan tanpa perintah.

Gerah, padahal awan sedang muram. Mungkin, kegelisahan membuat metabolisme dalam tubuhku meningkat dan akibatnya keringatku mulai banjir sekarang. Di antara rasa gerah dan basah, ada yang lebih kucemaskan, yaitu pop up box dan pesan singkat yang aku ketik pada memo ponsel di sepanjang jalan dari rumah hingga kemari.

Berkali-kali aku menelan ludah dengan berat sambil menatap bergantian antara pintu coklat yang masih dua puluh langkah lagi dengan pop up box di tanganku.Tuhan, buat semuanya mudah, sekali ini aja. Please!!
Baru saja akan kuraih kembali gerbang berdecit itu, sapaan singkat pada namaku membuyarkan semuanya. Kepalaku menoleh ragu ke asal suara, berharap orang itu bukanlah pemilik nama yang sedari tadi kusebut-sebut dalam hati.

"Lagi apa, Nis?"

Sialnya, dialah pemilik nama itu. Sumpah demi apapun, jika ada kursus singkat ilmu sihir sekarang, aku akan memilih ilmu menghilang. Menghilang sekarang dan menghilang dari ingatannya untuk selama-lamanya.
Wajahku memanas mendengar namaku disebutya sekali lagi,
"Eh, Mas Emier. Engg.. anu, ini loh Mas.."

"Mau masuk dulu?" tanyanya lembut kemudian membukakan gerbang untukku dan memaksaku untuk masuk tanpa peduli jawabanku iya atau tidak.

Emier Lazuardi, kenapa selalu muncul tiba-tiba? Ngilang juga seenaknya?! runtukku dalam hati sambil mengekori laki-laki pemilik rumah jingga ini.

"Mau minum apa, Nis?"

"Engg.. apa aja, Mas."

"Air kolam mau?"

Aku tak menjawab, malah muka bloon yang terpasang sempurna. Emier tertawa renyah kemudian masuk ke dalam tanpa menanyaiku untuk kedua kalinya. Aku yang masih, linglung semakin salah tingkah, berkali-kali kubetulkan posisi dudukku dan merapikan pakaian.

Tiba-tiba pandanganku terantuk pada sebuah bingkai foto paling kecil di antara bingkai lain yang tersusun rapi pada buffet antik di ruang tamu itu. Foto Emier bersama gadis kecil, mereka sedang di taman bunga, Emier dengan senyum manisnya duduk pada gazebo yang penuh dengan tanaman rambat dan hiasan balon warna-warni sedangkan gadis kecil itu berdiri di sampingnya sambil tertawa.
___
to be continued
___

Pengikut