Jumat, 18 April 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #8

"Kamu lagi ngapain? Cepet pulang ya, kasihan Bunda tiap hari kuatir sama kamu," lanjut Dev dengan gemetar. Ada yang mencekat di tenggorokannya, seperti memaksa untuk keluar tapi tertahan.
"Nis, aku pamit. Nanti siang aku uda harus terbang ke Kalimantan." Mata Dev mulai berembun. Kemudian dikecupnya pelan jemari Anisa, "Aku Kangen."

___
Ada yang bergerak di sela telapak tangan Dev. Dev sedikit terkejut tak percaya, ditatapnya sekali lagi jemari lemah yang digenggamnya. Sepuluh detik, dua puluh detik, tiga puluh detik berlalu dan meremas harapan Dev. Gerakan tak terjadi lagi.

"Hmmmmm, haaaahhhh.." Dev menghela nafas panjang dengan tatapan hampa pada seorang yang pernah menjadi penadah atas luapan  kasih dan sayangnya. Anisa masih membisu, gerakan singkat tadi ternyata hanya ilusi Dev. Mungkin Dev terlalu ingin melihat bibir Anisa tersenyum untuknya sebelum dia pergi ke Kalimantan, hingga keinginannya memicu otak untuk menciptakan ilusi singkat seperti fatamorgana. Diletakkannya perlahan jemari Anisa, "Assalamu'alaikum, Nis. I'll be glad to see you smile again, someday.."

Bunda yang sedari tadi telah selesai mengganti bajunya, mematung menahan nafas dari balik dinding kamar mandi, beliau dengar semuanya.

Dev menengok jam tangannya sekilas kemudian beranjak untuk berpamitan pada bunda Anisa. Tepat ketika Dev akan mengetuk pintu kamar mandi,

"Nak Dev? Ngapain berdiri di sini? Nungguin Bunda ya? Maaf lho, lama.." Bunda tersenyum lembut seperti biasa.

"Oh, enggak kok. Saya cuma mau pamit, harus buru-buru ke bandara."

"Lho, kok tiba-tiba? Aduh, Bunda minta maaf ya. Nak Dev jauh-jauh ke sini malah gak ditemenin."

"Gak perlu Bunda, saya memang cuma mau berpamitan, sama Bunda.. sama Anisa..."

Ditengah percakapan mereka, rupanya ada harapan yang mulai terjawab.

"Assalamualaikum.." pamit Dev.

 Jawaban atas jiwa yang mulai menemukan jalan pulang.

"Waalaikumsalam.." jawab Bunda.

Kini, dia telah pulang. Perlahan meraba pendar cahaya yang masih buram pada matanya. Jiwa yang tersesat sudah bernafas dengan sadar, mencoba merangkai kembali tentang dirinya, Anisa.
___
Ada, kalimat yang diam-diam telah tertata rapih, namun terbungkam. Kalimat itu disembunyikan dalam-dalam agar tak terdengar, tak terlihat, tak terbaca. Kalimat dengan kumpulan rasa cemas dan rindu, namun terbungkus dilema yang sangat tebal itu membuat kekalahan terjadi tanpa perlawanan.
Hai, Kamu! Ya, Kamu! Aku rindu
Dan sekali lagi, pesan singkat itu hanya menjadi penghuni folder draft. Jemari yang mengetiknya tak berdaya.
___
to be continued

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut