Minggu, 06 April 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #7

Ctik!

Bhhzzzz...
Dengan ajaib, di hadapanku menjadi layar proyeksi tiga dimensi yang memunculkan gambar semut seperti televisi yang sedang kehilangan signal.

___
Cetik.. cetik.. cetik.. mulailah muncul beberapa huruf yang terangkai.

"Emier Lazuardi..
 aku ingin..
 ya, aku ingin..
 aku ingin mencintaimu dengan sederhana:  
dengan kata yang tak sempat diucapkan kayu kepada api 
yang menjadikannya abu  
aku ingin mencintaimu dengan sederhana;  
dengan isyarat yang tak sempat disampaikan awan kepada hujan 
yang menjadikannya tiada.."
Kalimat itu terhenti disusul dengan memudarnya layar di hadapanku. Kemudian dari kejauhan muncul sesosok pria bertubuh sedang, tidak tinggi juga tidak pendek, berjalan santai menghampiriku.

Dia terlihat begitu casual dan rapi dengan kemeja denim dan celana jeans yang lengkap bersama sepatu burlap abu-abu. Sesekali senyum simpul ia lemparkan kepadaku sambil membetulkan tatanan rambutnya yang basah. Raut wajahnya teduh dan .. tampan.

Tuhan, inikah malaikat-Mu?

Tap.. tap.. tap..
Oh. No! Semakin dekat langkahnya semakin merdu terdengar.

"Hai, Kamu!" sapanya dari jarak yang memungkinkanku untuk menikmati keindahannya.

Jika di dunia menamakan jantung yang berdegup lebih hebat dari biasanya adalah jatuh cinta, mungkin ini lah yang namanya jatuh dari jatuh cinta. Jantungku bahkan hampir lupa bagaimana caranya berdegup.

"Aku?" balasku gugup.

"Iya, Kamu!" Pria itu tersenyum sembari meraih jemariku, "Aku rindu."
___
Tiit.. tiit.. tiit..

Suara elektrokardiogram menjadi satu-satunya penabuh gendang telinga pada ruang bertembok putih ini. Ruang yang terhitung mewah dengan segala fasilitas kelas satu, namun tak menjadi sebuah kebanggaan bagi penghuninya. Telah terbaring lama dan tanpa suara di ruang ini, Anisa Verdiana Maharani, pada sebuah ranjang putih dan berhias juntaian selang-selang bening di tubuhnya. Dadanya masih terlihat naik-turun, namun jiwa yang hidup tak  pernah terlihat lagi sejak kecelakaan yang menimpa Anisa bulan lalu.

Hari masih terlalu muda, lantai pun belum terjamah kain pel, namun ada wajah letih yang masih terjaga dalam sujud pada Tuhannya.

"Assalaamu'alaikum warohmatullaah.." gumam bunda Anisa, mengakhiri shalat subuhnya. Setelah beberapa saat khusyuk dengan doa, pintu ruang inap itu tiba-tiba terketuk dan membuat bunda segera menyudahi doanya untuk membukakan pintu.

"Assalamu'alaikum.." salam seorang pria, sang pengetuk pintu.

Bunda membalasnya dan mempersilahkannya untuk masuk, "Waalaikumsalam, eeh nak Dev, pagi-pagi sudah ke rumah sakit. Ayo, masuk dulu. Bunda ganti baju sebentar ya."

Dev tersenyum hangat sembari berjalan menuju kursi di samping ranjang Anisa. Mata Dev begitu lekat memandang wajah layu wanita yang sedang tertidur panjang di hadapannya. Ada secangkir rindu untuk wanita itu yang selalu dijaga oleh Dev agar tetap hangat. Bahkan tak pernah berubah sejak hari pertama Dev menyatakan cinta hingga detik ini, saat semuanya telah terputus tiga tahun lalu.

Dev meraih jemari Anisa perlahan, "Nis, gimana kabarnya?" bisik Dev lirih.

"Kamu lagi ngapain? Cepet pulang ya, kasihan Bunda tiap hari kuatir sama kamu," lanjut Dev dengan gemetar. Ada yang mencekat di tenggorokannya, seperti memaksa untuk keluar tapi tertahan.

"Nis, aku pamit. Nanti siang aku uda harus terbang ke Kalimantan." Mata Dev mulai berembun. Kemudian dikecupnya pelan jemari Anisa, "Aku Kangen."
___
to be continued



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut