Senin, 03 Maret 2014

Judulnya: Januari, Warnanya Kucari #6

Aku berlari, mencari asal petikan gitar yang sangat familiar ini dan sepertinya ada sesuatu dengannya. Dadaku bergemuruh,
In a far land across
You’re standing at the sea
Then the wind blows the scent
And that little star will there to guide me
dan pelan-pelan aku melafalkan lirik yang sama. Ya, aku mengenal lagu ini.
___
Kutemukan sebuah piringan hitam berputar-putar diatas gramophone kayu yang terlihat cantik dan indah. Gramophone itu menjadi satu-satunya yang berwarna sekarang.
If only I could find my way to the ocean 
I’m already there with you 
If somewhere down the line 
We will never get to meet 
I’ll always wait for you after the rain
Jemariku menelusuri tiap sudut gramophone cantik itu dengan hati-hati, masih dengan bibir berkomat-kamit. mengekori lirik lagu yang terputar. Entah bagaimana cara menjelaskan bahwa lagu ini sangat kuhapal bila judulnya pun aku tak ingat. Namun kubiarkan nada-nadanya memenuhi gendang telingaku hingga kenyang, kubiarkan harmoninya memelukku hingga sesak.

"I'll always wait for you after the rain.."

Nadanya habis, aku terpaku sesaat bersamaan dengan piringan hitam yang tak lagi berotasi. Kretek.. kretek.. kretek.. kuputar engkel disaping gramophone, kuayunkan jarum gramophone untuk kutempelkan pada piringan yang telah berputar kembali. Aaaahhh... Kupenuhi rongga dadaku dengan udara, mataku terpejam, kepalaku terangkat.

Pletak!! Aww..!!

Kugosok-gosok kasar jidatku sambil menahan sakit. "Sakiit.. Apaan sih tiba-tiba main jatuh aja," dengusku kesal. Baru saja kumulai dramaku sendiri untuk menikmati romantisme yang ada tapi sesuatu yang menimpa jidatku membuyarkan semuanya dengan nakal. Kucari benda misterius apa yang sebenarnya dengan lancang mendarat di atas jidatku. Dan yang kutemukan adalah sebuah remote control kecil berwarna abu-abu. Kupungut juga mengutuknya, karena walaupun kecil tetap sakit jidatku ditimpanya.

Hmmm... Aneh, pikirku. Remote ini hanya punya dua tombol, satu bersimbol "play" dan yang lain "stop". Pasti ini bukan milik gramophone itu, jelas-jelas piringan hitam kuputar secara manual tadi. Kupandangi lekat-lekat, penasaran.

Ctik!

Bhhzzzz...
Dengan ajaib, di hadapanku menjadi layar proyeksi tiga dimensi yang memunculkan gambar semut seperti televisi yang sedang kehilangan signal.
___
to be ontinued
___

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Pengikut